April 18, 2024

Pakar Politik: Ambang Batas Pencalonan Presiden Tak Diperlukan Dalam RUU Pemilu

Jawa Timur (suararakyatjatim) – DPR RI dan pemerintah segera membahas RUU Pemilu. Salah satu yang krusial dalam RUU tentang ambang batas parlemen (parliamentary threshold)  dan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

Dalam RUU tentang Pemilu disebutkan, ambang batas parlemen 5 persen dan ambang batas pencalonan presiden 20 persen.

Demikian disampaikan Pakar Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga kepada para awak media, Jumat (22/1/2021).

Jamiluddin menilai, apabila usulan ambang batas tersebut disetujui oleh DPR, tentu hal itu hanya menguntungkan partai besar.

“Partai besar akan semakin mapan menghuni Senayan. Mereka ini akan terus mempertahankan status quo,” kata Jamiluddin.

Karena itu, lanjut Jamiluddin, partai besar akan terus berupaya meningkatkan ambang batas parlemen dari pemilu ke pemilu.

“Dengan cara demikian, partai menengah dan partai gurem tinggal menunggu waktu terpental dan Senayan,” jelas Dosen Metodologi Penelitian Komunikasi Universitas Esa Unggul, Jakarta ini.

Kalau hal itu terjadi, ungkap Jamiluddin, heterogenitas rakyat Indonesia akan semakin tidak tercermin di Senayan.

“Prinsip kebhinekaan terus tergerus dari pemilu ke pemilu dan tidak menutup kemungkinan pada suatu saat akan hilang dari Senayan,” tegasnya.

Jamiluddin Ritonga meyakini, setiap anak negeri yang cinta demokrasi tidak akan menghendaki hal itu terjadi.

“Karena itu, harus diupayakan partai menengah dan gurem agar tetap eksis di Senayan,” tutur Penulis Buku Riset Kehumasan tersebut.

Untuk itu, saran Jamiluddin, ambang batas parlemen perlu dikembalikan menjadi 2,5 persen, seperti yang berlaku pada pileg 2009.

“Kalau ini dapat disepakati, selain tidak banyak suara yang terbuang, juga akan semakin banyak partai yang masuk ke Senayan,” yakinnya.

Semua partai yang masuk Senayan, menurut Jamiluddin, idealnya diberi hak untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

“Jadi, kalau ada 10 partai yang masuk Senayan, maka akan ada 10 pasang calon presiden dan wakil presiden yang wajib diajukan pada pilpres,” terang Dekan Fikom IISIP, Jakarta 1996-1999 ini.

Kalau hal itu dapat diwujudkan, ujar Jamiluddin, maka tidak diperlukan lagi ambang batas pencalonan presiden.

“Setiap partai yang lolos ke Senayan otomatis wajib mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden,” tukasnya.

Dengan begitu, tambah Jamiluddin, partai menengah dan gurem punya hak yang sama dengan partai besar dalam mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Kalau hal itu dapat disetujui, rakyat akan mendapat banyak suguhan calon presiden dan wakil presiden yang dapat dipilih. Variasi pemilih akan tercermin pada variasi calon yang akan dipilih,” ucap mantan Evaluator Harian Umum Suara Pembaruan ini.

Jamiluddin menambahkan, hal itu dapat juga menghindari polarisasi rakyat Indonesia ke dalam dua kutub, sebagaimana terjadi pada pilpres 2014 dan 2019.

“Polarisasi seperti ini kalau terus dibiarkan tentu akan mengancam NKRI. Tentu ini tidak dikehendaki oleh anak bangsa yang mencintai negeri ini,” pungkas Jamiluddin Ritonga. (why)