suararakyatjatim.com – Wakil Ketua DPRD Surabaya, Arif Fathoni, menanggapi keluhan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, terkait perbedaan data penanganan stunting antara Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Menurut dia, permasalahan utama dalam sistem pemerintahan saat ini adalah ego sektoral antar institusi, termasuk dalam hal berbagi data.
“Sebenarnya problem utama sistem pemerintahan kita itu masih ada ego sektoral antar institusi pemerintahan, termasuk salah satunya adalah data Badan Pusat Statistik (BPS) yang tidak pernah diberikan secara gamblang kepada pemerintah daerah,” ujar Arif Fathoni kepada wartawan di Surabaya.
Toni menjelaskan bahwa data BPS seharusnya menjadi data primer bagi kepala daerah dalam melaksanakan program pembangunan. Baik itu yang diamanatkan oleh pemerintah pusat, provinsi, maupun inovasi daerah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
“Padahal data BPS itu merupakan data primer bagi kepala daerah untuk melaksanakan baik apa yang diperintahkan oleh pemerintah pusat, provinsi maupun inovasi yang dilakukan oleh kepala daerah melalui RPJMD,” katanya.
Lebih lanjut, Toni menyoroti seringnya terjadi silang data primer yang dapat menghambat efektivitas program pembangunan. Ia mencontohkan penanganan stunting, dimana perbedaan data antara Pemkot dan BPS dapat menimbulkan hasil yang berbeda pula.
“Katakanlah kita mengambil rujukan data utamanya dari BPS untuk melakukan penanganan stunting, tapi kemudian data itu tidak diberikan secara komprehensif kepada pemerintah kota, hasil akhirnya itu pasti terjadi perbedaan. Pemerintah kota mengaku bahwa hasil penanganan stunting seperti ini, ternyata data BPS menyebutkan hal yang lain,” sebutnya.
Oleh sebabnya, Toni berharap, keluhan Wali Kota Surabaya, sekaligus yang Ketua Dewan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), dapat menjadi perhatian pemerintah pusat.
Lebih dari itu, ia berharap di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, BPS dapat lebih terbuka dalam berbagi data statistik dengan seluruh kepala daerah.
“Nah, di masa Presiden Prabowo, saya berharap BPS lebih terbuka pada seluruh kepala daerah se Indonesia tentang data hasil penelitian statistik-nya. Sehingga sangat bermanfaat bagi pemerintah daerah untuk sebagai rujukan pembanguan Jangka Menengah Daerah. Sehingga pembangunan yang dilakukan itu tepat sasaran dan tepat guna,” harapnya.
Menanggapi pertanyaan apakah data menjadi pemicu utama penanganan problem di masyarakat, Toni menilai bahwa permasalahan ini lebih kepada koordinasi antar instansi yang perlu ditingkatkan.
“Saya pikir ini hanya koordinasi yang perlu ditingkatkan saja. Sebenarnya ada banyak hambatan yang terjadi dalam pengelolaan pemerintahan daerah, tidak hanya data BPS yang dishare secara terbuka kepada pemerintah daerah,” ucapnya.
Selain itu, Ketua Golkar Surabaya ini juga menyinggung hambatan lain dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Contohnya seperti kesulitan mendapatkan data terkait keberadaan warga negara asing (WNA).
“Katakanlah dinas kependudukan meminta data kepada imigrasi berapa warga negara asing yang ada di Kota Surabaya, berapa yang menggunakan visa on arrival, berapa yang menggunakan visa kerja, itu kadang kala juga memang masih ada hambatan psikologis,” ungkapnya.
Oleh sebabnya, Toni berharap, di masa pemerintahan yang baru, seluruh institusi pemerintah, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, dapat lebih terbuka dan sadar akan pentingnya berbagi data demi tujuan bersama, yaitu mensejahterakan masyarakat Indonesia.
“Karena tujuan kita ini sama, sama-sama mengabdi kepada bangsa dan negara untuk melaksanakan tujuan kita bernegara yakni mensejahterakan masyarakat Indonesia,” tandasnya.(adv/yu)